"... Saat ini jumlah
penganggur sudah mencapai 45,2 juta. Dari jumlah tersebut,
sekitar 2.650.000 orang penganggur terdidik lulusan perguruan tinggi. ... "
www.mail-archive.com/ msg00090.html
sekitar 2.650.000 orang penganggur terdidik lulusan perguruan tinggi. ... "
www.mail-archive.com/ msg00090.html
"... Dari jumlah
penganggur terbuka, 65,71% boleh dikatakan penganggur terdidik yang
berpendidikan ...
www.jurnalindonesia.com/Current/04TinjauKhusus1.htm
www.jurnalindonesia.com/Current/04TinjauKhusus1.htm
"Data Sakernas empat tahun terakhir (BPS 1997-2000) menunjukkan bahwa
jumlah penganggur lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat dari 4 juta orang
pada tahun 1997 menjadi 6 juta pada tahun 2000. Jumlah penganggur lulusan sekolah menengah terus meningkat dari 2,1 juta
orang pada tahun 1997 menjadi 2,5 juta orang pada tahun 2000. Peningkatan
jumlah penganggur ini juga terjadi pada perguruan tinggi, tidak kurang dari 250
ribu penganggur lulusan sarjana setiap tahunnya, 120 ribu lulusan Diploma III,
dan 60 ribu lulusan diploma I dan II." www.pdk.go.id/serba_serbi/Renstra/bab-II.htm
Ah,saya telah menakut-nakuti Anda dengan
angka-angka diatas ? Tidak, tidak, bukan begitu maksud saya. Saya hanya ingin Anda melihat fakta. Begitulah wajah
dunia pendidikan kita. Setiap tahun hanya menghasilkan para penganggur terdidik
?
Saya hanya ingin Anda duduk sesaat dan merenung
kemudian memikirkan "Masa depan seperti apa yang Anda inginkan ?"
Apakah setelah lulus Anda menggadaikan ijasah Anda kemana-mana dan menjadi
orang gajian serta menetap disana selamanya hingga datang masa pensiun ?
Kemudian mengeluh terus sepanjang hidup Anda karena apa yang Anda bawa pulang
untuk istri dan anak Anda tidak pernah mencukupi kebutuhan hidup Anda, bahkan
yang paling dasar sekalipun. Ataukah Anda segera bangkit meninggalkan gelar
Anda dan mengikuti orang-orang yang telah sukses "tanpa gelar".
Membangun mimpi dan dunia masa depan Anda dimana Anda ingin berada ? Membangun
usaha Anda sendiri, merintis, menumbuhkan, membesarkan dan mewariskannya kepada
anak cucu Anda. Ya semua itu tergantung Anda !
….Saat ini jumlah UKM di Indonesia mencapai 99,99 persen dari dari total
tenaga kerja produktif, serta memberi kontribusi terhadap GDP sebesar 59
%."
www.sme
center.com/ccom/news/news-01-250700-01.htm
……..dari
total tenaga kerja produktif, serta memberi kontribusi terhadap GDP sebesar
59,36 persen. UKM Indonesia
dinilai juga memberikan kontribusi yang besar…..
www.kompas.com/business/news/0007/25/24.htm
Ya lihatlah ! Bagaimana pengusaha kecil, penjual nasi padang, pedagang baso dipinggir jalan,
pedagang kaki lima,
pengusaha tempe,
penjual ayam potongan mereka nyata-nyata
memberikan sesuatu yang berarti bagi negeri ini.
Dipuncak krisis pada 1998 – 2000, kontributor SME terhadap Produk
Domestic Bruto (PDB) mencapai 60 %
lebih. Data dikementrian Koperasi dan UKM menyebut konntribusi SME terhadap PDB
pada 2003 masih dikisaran 56,44% dan diprediksi akan naik pada 2004 menjadi
57,11%. Sementara itu kontribusinya
terhadap nilai eksporpun diperkirakan naik dari 21 % menjadi 25%. Dengan kata
lain, SME masih diandalkan sebagai motor penggerak perekonomian.
Sayangnya harapan ini tampaknya bertolak
belakang dengan perhatian pemerintah.
Pasalnya dari tahun ke tahun anggaran belanja pemerintah yang dialokasikan ke
sektor SME hanya 6 – 7 % - selebihnya justru mengerojok ke
perusahaan-perusahaan besar. Padahal raksasa-raksasa bisnis, para konglomerat
banyak yang melarikan uang rakyat kekantong mereka bahkan sebagian dilarikan
keluar negeri.
... Kematian Hendra kian menyulitkan upaya pemerintah mengusut
Rp 2,6 triliun
kerugian negara akibat penyalahgunaan BLBI tersebut ...
www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2003-February/000834.html
kerugian negara akibat penyalahgunaan BLBI tersebut ...
www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2003-February/000834.html
... investigasi BPK menunjukkan bahwa potensi kerugian
negara mencapai Rp 138 triliun akibat dana BLBI ...
www.geocities.com/faaktor/News-Doc/20000828-Rbs.html
www.geocities.com/faaktor/News-Doc/20000828-Rbs.html
dan selama periode 1996-1997 pelarian modal telah
diperkirakan
US$ 80 miliar devisa telah dilarikan ke luar negeri
www.geocities.com/ypenebar/globalization/Swasono-Sritua.html
US$ 80 miliar devisa telah dilarikan ke luar negeri
www.geocities.com/ypenebar/globalization/Swasono-Sritua.html
Jumlah utang swasta
Indonesia
per September
tahun 2000 tercatat 68,2 miliar dollar AS.
www.kompas.com/kompas-cetak/0308/06/finansial/474903.htm
tahun 2000 tercatat 68,2 miliar dollar AS.
www.kompas.com/kompas-cetak/0308/06/finansial/474903.htm
UKM Pada Masa Krisis - Akhir 1997 Sampai Saat Ini
Krisis yang terjadi di
Indonesia sejak tengah tahun 1997 sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda
akan berakhir. Krisis ini juga telah mengakibatkan posisi pelaku sektor ekonomi
berubah. Usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor yang meningkat
secara drastis, biaya cicilan utang meningkat sebagai akibat dari nilai tukar
rupiah terhadap dolar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor perbankan juga ikut
terpuruk memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak perusahaan
yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berbeda
dengan UKM yang sebagian tetap bertahan, bahkan cenderung bertambah.
Data terakhir dari Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha
Kecil dan Menengah (Menekop & PKM) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, ada
sekitar 38,99 juta Usaha Kecil dengan rata-rata penjualan pertahun kurang dari
Rp.1 Miliar, atau sekitar 99,85 % dari jumlah perusahaan di Indonesia. Pada
tahun yang sama, ada 55.061 perusahaan dari katagori Usaha Menengah, dengan
rata-rata penghasilan per tahun lebih dari Rp.1 Miliar tetapi kurang dari Rp.50
Miliar, atau sekitar 0,14 % dari jumlah unit usaha.
Pertambahan penduduk yang besar setiap tahun menjadi
permasalah tersendiri bagi penyediaan lapangan pekerjaan. Usaha besar tidak
sanggup menyerap semua pencari pekerjaan. Ketidaksanggupan usaha besar dalam
menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif padat modal, sedangkan
UKM realtif padat karya. Disamping itu Usaha Besar umumnya membutuhkan pekerja
dengan pendidikan formal yang tinggi dan pengalaman kerja yang cukup, sedangkan
UKM sebagian pekerjanya berpendidikan rendah.
Data dari Menegkop & UKM menunjukkan bahwa pada
tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja di Usaha Kecil, atau sekitar 99,44
% dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia. Sedangkan dalam bentuk
kontribusi terhadap PDB, UKM menyumbang 40 % tahun 2000 dibandingkan 38 % tahun
1997.
Dipuncak krisis pada 1998 – 2000, kontributor SME
terhadap Produk Domestic Bruto (PDB)
mencapai 60 % lebih. Data dikementrian Koperasi dan UKM menyebut konntribusi
SME terhdap PDB pada 2003 masih di kisaran 56,44% dan diprediksi akan naik pada
2004 menjadi 57,11%. Sementara itu konntribusinya
terhadap nilai eksporpun diperkirakan naik dari 21 % menjadi 25%. Dengan kata
lain, SME masih diandalkan sebagai motor penggerak perekonomian.
Sayangnya harapan ini tampaknya
bertolak belakang dengan perhatian
pemerintah. Pasalnya dari tahun ke tahun anggaran belanja pemerintah yang
dialokasikan ke sektor SME hanya 6 – 7 % - selebihnya justru mengerojok ke
perusahaan-perusahaan besar. Padahal raksasa-raksasa bisnis, para konnglomerat
banyak yang melarikan uang rakyat kekantong mereka bahkan sebagian dilarikan
keluar negeri.
Peluang Ada di Mana-mana
Ketika krisis menimpa Asia ditahun 1997,
kebanyakan orang memperkirakan kawasan tersebut akan runtuh. Apa yang telah
terjadi terhadap ekonomi dengan pertumbuhan tercepat didunia yang tiba-tiba
saja menjadi tempat yang paling menggerikan bagi investasi. Banyak komentar
langsung menyalahkan krisis tersebut. Para ekonom menyalahkan kebijakan
ekonomi. Analis keuangan dan perbankan menuding kelemahan sistem keuangan dan
banyak lagi analis lainnya yang berkomentar.
Huruf cina untuk Krisis (lihat dibawah) dibaca
wei-ji, dan memiliki dua arti "bahaya - danger" dan "peluang –
opportunity."
Puncak krisis yang menimpa Indonesia menyebabkan
kepanikan dan kerusuhan dimana-mana. Harga-harga naik selangit, dollar
menggila, penjarahan dimana-mana, kelangkaan pangan, rush besar-besaran
terhadap perbankan. Dan situasi tersebut berjalan cukup lama.
Tetapi, tidak!
Ternyata masih ada seberkas sinar harapan di antara puing-puing kehancuran.
Beberapa pengusaha kecil tampak masih tegar. Bahkan beberapa di antaranya
justru mendapat berkah karena adanya krisis moneter, yang menjungkirkan nilai
rupiah sampai babak belur di dasar jurang. Mereka ini kebanyakan merupakan pengusaha kecil yang menjalankan
usahanya secara konvensional, penuh kehati-hatian, disiplin, tidak mengobral
utang atau menjebol bank, sehingga krisis moneter tidak menyebabkan mereka
hancur seketika. Mereka masih bisa bertahan, sehingga walaupun tidak bebas dan
tekanan, mereka masih mempunyai kesempatan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan-perbaikan
seperlunya. Mereka juga tidak bergantung pada bahan baku impor. Dengan begitu,
mereka tidak akan terlalu kena dampak melambungnya biaya produksi.
Rezeki sebagian dari mereka malah
bertambah, karena bisnisnya berorientasi ekspor. Dengan “dukungan” krisis
moneter, harga produk mereka menjadi sangat bersaing, dan pembayaran yang diterima
dalam bentuk dolar menyebabkan keuntungan menjadi berlipat ganda.
Pertanyaan
terakhir adalah: “Apa kesimpulannya? Bagaimana menentukan tindakan selanjutnya
dalam suasana knisis ini?”
Dengan kenyataan-kenyataan seperti yang
diutarakan di atas, tidak ada kesimpulan yang lebih tepat bahwa menjadi
pengusaha kecil yang baik merupakan jawaban yang paling “pas” untuk mengatasi
krisis. Lebih-lebih jika bidang usahanya berorientasi ekspor dengan bahan baku
lokal, maka itu akan menjadi solusi ideal agar bangsa Indonesia dapat menjadi
bangsa yang kuat secara ekonomis, tidak rapuh dalam menghadapi gejolak moneter.
Tentunya jika didukung oleh sistem kebijakan serta pembinaan yang
sungguh-sungguh dan pemerintah. Pemerintah yang notabene bersih dari
unsur-unsur KKN.
Berikut ini penulis
sampaikan sebuah kutipan tentang salah satu contoh keberhasilan pengusaha kecil
Indonesia
dalam menghadapi badai krisis moneter.
Selama krisis moneter Asia,
ditemukan bahwa Taiwan khususnya tidak terkena. Alasannya : ekonominya ditopang
oleh sejumlah besar usaha kecil dan menengah serta pabrik di pedesaan. Hal yang sama juga terjadi di AS. Jumlah
pekerjaan yang diciptakan oleh perusaahaan kecil dan menengah jauh melebihi
yang diciptakan oleh perusahaan dalam Fortune 500.
Yang
disebut "model jepang" di mana ekonomi Negara tergantung hanya pada
beberapa perusahaan besar (keiretsu) terbukti kurang bertahan. Negara yang
mengikuti model ini seperti Korea (chaebol), Indonesia, Thailand, Malaysia, dan
Singapura semuannya terpukul sangat keras selama krisis. Dalam istilah orang
awam, sangat berisiko menaruh semua telur dalam satu keranjang. Dalam waktu
yang berubah, orang harus menaruh telurnya di lebih dari satu keranjang – untuk
menyebarkan risikonya. Itulah prinsip yang digunakan oleh kebanyakan perusahaan
asuransi. Bila kita amati, selama badai besar, banyak pohon raksasa tercabut
dari akarnya dan tumbang atau rusak.
Akan tetapi, rumput kecil hanya membungkuk terkena angin. Sekarang ada
kecenderungan di antara perusahaan besar
untuk memecahkan diri menjadi organisasi yang terdiri dari banyak organisasi
kecil tersendiri.
Bagi entrepreneur situasi macam apapun selalu
terdapat peluang. Penderitaan disatu pihak kadang
kala justru menjadi peluang bagi pihak lain. Masih ingat ketika terjadi perkosaan
terhadap etnis cina ? Pada saat itu mendadak banyak orang menjual celana
"anti perkosaan." Para spekulan dollar untung besar. Bahkan ada sebagian pengusaha perikanan di
daerah berdoa agar krisis jangan pernah berlalu karena menangguk untung besar
karena pembelinya sebagian besar pihak luar negeri.
Sekarang saya ingin mengajak Anda
untuk melihat kebelakang sejarah kultural bangsa kita dalam dunia entrepreneur.
Budaya Jawa dan Penjajahan
Pada zaman pra-kolonial, struktur
kerajaan yang ada terbagi menjadi dua, agraris, seperti Kerajaan Mataram; dan
kedua, bersifat maritim, yang diwakili Kesultanan Aceh. Struktur semacam
ini menampakkan bahwa jalur perdagangan antara kerajaan agraris dan maritim
berjalan dengan lancar, di mana kerajaan agraris bertindak sebagai pemasok
barang kebutuhan pokok. seperti beras yang tidak dihasilkan oleh kerajaan
maritim, sementara kerajaan maritim berorientasi pada ekspor-impor
rempah-rempah.
Adapun
perdagangan yang ramai ini bukan berarti tingkat kemakmuran rakyat kerajaan itu
tinggi. Penelitian beberapa sejarawan membuktikan bahwa. tingkat hidup petani
Jawa saat itu bersifat subsistem. Lalu siapa yang diuntungkan dengan kesibukan
perdagangan - yang notabene menghasilkan keuntungan uang tunai ?
Menurut Onghokham, golongan pedagang zaman itu
berasal dari kalangan aristokrat, rajalah yang memegang monopoli perdagangan.
Dalam konteks kebudayaan Jawa-agraris yang kratonsentris, hal ini tidaklah
mengherankan, sebab raja bukan saja menjadi pemegang monopoli dagang, tapi juga
sebagai pemilik tanah.Dengan sendirinya, kondisi ini menyebabkan tidak
menimbulkan mobilitas modal dan kepercayaan dagang. Karena sewaktu-waktu, raja
dapat mengambil tanah garapan seseorang (asalkan berada dalam lingkungan
kerajaannya). Selain itu, perlu dicatat bahwa agaknya kebiasaan dagang pun
bukan murni budaya Jawa. Perdagangan adalah kompetisi yang tidak sesuai dengan
konteks budaya Jawa, karena “menyalahi”nilai kerukunan - patut dicatat bahwa
nilai kerukunan bukan diartikan sebagai tidak adanya beda pendapat, tapi
menurut mereka, beda pendapat lebih baik disimpan dan tidak dikemukakan. Ini
untuk menjaga ketenteraman, biarpun di dalam hatinya ada perbedaan pendapat.
Perdagangan lebih merupakan hasil interaksi raja-raja dengan pendatang.
Jadi jelas bahwa lingkungan sosial
budaya nusantara pada masa pra-kolonial tidak mendukung kemunculan inovator,
suatu kelas baru dalam masyarakat; yakni kelas menengah yang berdana kuat - untuk membantu
penyediaan kredit
-
yang bukan berasal dari kalangan elite politik. Dalam periode
berikutnya, kerajaan-kerajaan ini mulai berkenalan dengan orang-orang Eropa.
Portugis yang datang dengan motif penyebaran agama Katolik disertai dengan
keinginan merusak jalur perdagangan Islam yang telah terbentuk di Asia hanya
bertahan beberapa puluh tahun di nusantara yang kemudian mundur ke Timor sampai
1976. Meskipun demikian, pedudukan Malaka oleh Portugis membawa dampak besar
bagi perdagangan. Praktek monopoli yang diberlakukannya mengakibatkan
kemunduran perdagangan internasional. Monopoli ini dilakukan untuk menutup
tingginya risiko yang harus ditanggung pihak Portugis.
Setelah Portugis dipaksa mundur ke Timor, datanglah Belanda. Tidak berbeda dengan Portugis,
Belanda juga menerapkan sistem monopoli. Dengan demikian, perdagangan nusantara
menjadi bersifat internal dan stimulasi dan perdagangan internasional tidak
lagi dinikmati. Ini merupakan pukulan bagi perekonomian nusantara,
khususnya raja-raja Jawa. Namun satu hal perlu dicatat bahwa praktek monopoli
Belanda maupun Portugis sebelumnya secara tidak langsung ‘direstui’ elite
politik. Bagi Belanda, Indonesia tidak lebih dan sekedar penghasil
bahan mentah.
Arief Budiman mengatakan bahwa
kapitalisme Belanda bukan seperti Inggris yang berorientasi pada industri,
sebaliknya Belanda bersifat merkantilis. Yang
diinginkan Belanda adalah komoditi primer dan negara jajahannya untuk
kemudian diperdagangkan di pasar dunia. Dari segi sosial, di sini terlihat
hilangnya fungsi yang dijalankan Syahbandar dan pedagang yang dulu sangat
berperan dalam perdagangan internasional. Kedudukan pedagang perantara ini
diberikan pada golongan Timur Asing. Ini terjadi setelah tahun 1799 ketika VOC
bangkrut dan semua hutang serta kekayaannya diambil alih oleh pemerintah
Belanda. Sementara VOC hanya bertindak sebagai vassal, maka pemerintah Hindia
Belanda mengubah struktur masyarakat Indonesia menjadi tiga yakni golongan atas
yang ditempati pemerintah kolonial, golongan menengah diberikan kepada
kelornpok Timur Asing, sedang golongan bawah diduduki penduduk pribumi. Kebijakan
diskriminatif ini sengaja dilakukan untuk mencegah munculnya kelas menengah
murni yang tidak berasal dari elite politik. Dengan alasan menghindari
nepotisme dan favoritisrne, Belanda lalu melarang elite politik untuk ikut
dalam kegiatan dagang. Dengan demikian, elite tidak pernah memiliki kekuatan
ekonomi dari politik secara bersamaan. Belanda kuatir mereka akan hadir sebagai
‘borgouise’ yang mendorong perubahan baik politik maupun ekonorni Indonesia.
Ketakutan Belanda pada borgouise
class di Hindia Belanda terlihat juga pada peristiwa pembunuhan serta
pembatasan lingkungan orang-orang Cina baik di Batavia maupun di tempat lain -
orang Cina harus mempunyai pas jalan untuk pergi ke tempat yang bukan pecinan. Kondisi
yang diciptakan Belanda ini untuk mematikan berdirinya suatu kelas menengah
yang kuat. Keadaan ini semakin memperburuk situasi yang dapat memunculkan
entrepreneur. Setelah selama kurang lebih dua abad rnenjalankan praktek
monopoli, akhirnya pemerintah Belanda membuka Indonesia untuk berbagai pengaruh
perdagangan internasional. Hal ini bersamaan dengan pertumbuhan industri di
Belanda. Namun sedikit sekali - bahkan tidak ada - pengaruh perdagangan ini
dirasakan oleh rakyat nusantara. Kenyataannya orientasi kebijakan membuka
Hindia Belanda pada PMA hanya demi kepentingan industri Belanda sendiri. Hindia
Belanda hanya dijadikan sebagai produsen bahan mentah sekaligus pasaran hasil
industri Belanda - yang kualitasnya kurang baik dibandingkan hasil industri
Inggris ataupun Jerman. Ketika depresi melanda seluruh dunia, kondisi
perekonomian Hindia Belanda bertambah buruk terutama karena Belanda mengenakan
tarif untuk membendung politik dumping Jepang dan penggunaan gold standard
monetary system yang sudah dilepas Inggris maupun Amerika Serikat. Dengan
depresi ini, jatuhnya harga komoditi primer bertambah buruk karena apresiasi
mata uang Belanda.
Usaha Menumbuhkan Entrepreneur Pribumi
Dari sejarah di atas tampak bahwa di
samping faktor budaya Jawa-agraris yang sangat besar pengaruhnya hingga kini,
pemerintahan kolonial juga menyebabkan iklim usaha di Indonesia tidak
mampu menghadirkan kelas menengah yang terpisah dari elite politik dan secara
finansial mampu menopang eksistensi entrepreneur dalam perekonomian Indonesia. Walaupun
demikian, kenyataan itu tidak boleh dijadikan alat justifikasi rendahnya
tingkat pertumbuhan ekonomi kita. Setelah 59 tahun merdeka, rasanya tidak adil
kalau kita tetap menyalahkan Belanda.
Setelah tahun
1950, mulailah rencana pembangunan Indonesia dicanangkan, sekaligus kebijakan-kebijakan
politik yang diperlukan untuk mendukung rencana tersebut. Dari sisi sosial,
sebenarnya struktur masyarakat Indonesia
tidak berubah. Pergantian peran orang-orang pribumi yang mengggantikan
orang Belanda menduduki golongan atas, sementara sektor ekonomi tetap dikuasai
golongan Cina.
Waktu itu,
kebutuhan dana yang besar seakan menyadarkan elite politik kita bahwa mereka
memang terlalu mendominasi birokrasi tanpa kekuatan ekonomi. Pengusaha pribumi
yang kuat sulit ditemukan. Karena itu, disusunlah kebijakan yang bertujuan
membangun kelas pengusaha pribumi yang lebih dikenal sebagai Program Benteng.
Program ini merupakan bagian integral
Rencana Urgensi Perekonomian 1950-1957 untuk mendorong kelas pedagang pribumi
agar mampu bersaing dengan importir asing. Pemerintah memberikan lisensi impor
hanya kepada pengusaha pribumi selain membatasi impor barang tertentu. Dengan
lisensi impor ini, pengusaha pribumi dapat mengimpor barang dengan kurs resmi,
sehingga dengan selisih kurs dipasar gelap saat itu, pengusaha pribumi bisa
memperoleh profit yang besar. Dalam pelaksanaannya terlihat bahwa orang pribumi
yang menerima perlakuan istimewa ternyata bukan berasal dan kalangan yang
memiliki potensi kewiraswastawan melainkan dari mereka yang mempunyai hubungan
dengan elite poitik. Lebih parah lagi, mereka tidak mendirikan perusahaan impor
yang sesungguhnya, melainkan membeli lisensi impor dan menjualnya kepada
orang-orang Cina yang memiiki sumber dana dan jaringan bisnis yang intensif.
Kolaborasi ini yang disebut perusahaan-perusahan Ali Baba, dengan Ali
(pengusaha pribumi) bertugas memperoleh lisensi sedangkan Baba (Cina)
menyediakan modal dan keahlian usahanya. Walaupun demikian, Program Benteng
tidak gagal sama sekali. sebab beberapa pengusaha pnibumi yang masih tetap kuat
hingga kini merupakan hasil dan program tersebut seperti Soedarpo Sastrosatomo
dan Hasjim Ning.
Secara konseptual sebenarnya program
Benteng ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah kolonial
Belanda. Perlakuan istimewa yang diberikan pada golongan Cina oleh pemerintah
kolonial Belanda (dengan memberikan kedudukan pedagang perantara) dimaksudkan
untuk mencegah munculnya kelas burjuasi pribumi dan mencegah persaingan antara
perusahaan-perusahaan Belanda sendiri. Dengan sendirinya, program Benteng tidak
akan berhasil membangun basis yang kuat bagi munculnya kelas pengusaha pribumi
yang tangguh. Pada saat program ini diluncurkan, sebenarnya beberapa kalangan
sudah tidak menyetujuinya. Antara lain, Mr. Sjafruddin Prawinanegara yang waktu
itu menjabat Gubernur Bank Indonesia.
Sjafruddin Prawiranegana menilai bahwa kebijakan diskriminatif terhadap modal
asing dan modal nonpribumi tidak relevan mengingat pada saat itu, kondisi yang
dihadapi adalah kelangkaan modal domestik. Bila saat itu Indonesia
kelebihan modal, pengusiran modal asing dan memandulkan modal nonpribumi memang
masuk akal. Analisis Sjafruddin berakhir pada kesimpulan bahwa kebijakan
pembinaan diskriminatif pengusaha nasional hanya akan menghasilkan pengusaha
yang tidak mandiri di samping menyebabkan korupsi di kalangan birokrasi.
Bersamaan dengan periode
berkembangnya ide nasionalisme ekonomi, pemerintahan Soekarno kemudian
menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sebagai bagian dari kampanye
pembebasan Irian Barat pada tahun 1957.
Dari sinilah, pihak militer memperoleh basis ekonomi yang kuat dan periode
pertentangan militer dengan partai politik, akhirnya diselesaikan Soekarno
melalui Dekrit 5 Juli 1959, dimulai. Hal ini dapat dikatakan sebagai kemenangan
militer atas partai-partai politik ( kecuali PKI yang justru makin kuat ).
Setelah Orde Baru berkuasa, ada
kecenderungan munculnya kesadaran elite politik untuk tidak terjebak pada
pengambilan kebijakan yang bersifat diskriminatif. Meskipun
demikian, aliansi militer dan kelompok burjuasi menjadi semakin kuat (basis
ekonomi diperoleh militer melalui nasionalisasi). Hal ini terlihat dengan
munculnya pengusaha-pengusaha yang
umumnya mempunyai hubungan dekat dengan jenderal-jenderal dan tidak hanya
berasal dari golongan pribumi tapi banyak yang berasal dari golongan Cina.
Apa kiranya yang perlu dilakukan untuk mendorong kemunculan tokoh entrepreneur Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi kita? Belajar dari pengalaman, kebijakan bersifat diskriminatif terutama dengan memisahkan asing-nonpribumi dan modal pribumi tidak akan berhasil. Kesalahan para pengambil keputusan program Benteng masih bisa dimaklumi karena pada awal kemerdekaan, ide-ide “Indonesianisasi” masih merajalela tetapi sekarang prioritas utama kita adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin adil.
Tampaknya keterbukaan semua pihak yang berkepentingan dengan pengambilan keputusan politik dan ekonomi sudah tak dapat ditawar-tawar lagi. Keterbukaan terhadap modal asing terutama perlu mengingat bahwa selama ini, pengusaha Indonesia terutama golongan Cina sangat bergantung pada modal luar negeri. Logika yang disampaikan Mr. Sjafruddin Prawiranegara masih sangat relevan. Kondisi kelangkaan modal domestik mestinya tidak diselesaikan dengan mengusir modal asing dan nonpribumi. Sebagai analog dari masalah ini, kita bisa melihat pada sejarah bangkitnya kapitalisme di Eropa. Dalam abad 16-17, para pengusaha Yahudi seperti golongan Cina di Indonesia yang minoritas mendominasi perekonomian Eropa. Bangkitnya kapitalisme secara dinamis di belahan Utara Eropa terutama dikaitkan dengan penerimaan kaum borjuasi nasional terhadap pengintegrasian modal Yahudi menjadi bagian dari modal nasional. Sementara di Eropa Selatan (Spanyol dan Portugis) yang mendiskriminasi bisnis Yahudi menunjukkan kondisi perekonomian yang lebih terbelakang.
Keterbukaan yang
lebih penting menyangkut proses tender proyek-proyek yang berlangsung. Sampai
sekarang, proses seperti ini masih berjalan secara gelap dalam arti tender
tertutup untuk pihak-pihak tertentu. Selain itu, pemerintah sudah seharusnya
memperhatikan lebih baik aspek human
investment kita. Sampai sekarang,
penyediaan tenaga ahli masih sangat kurang yang menyebabkan kondisi
keterbelakangan teknologi maupun pengetahuan manajemen pengusaha Indonesia. Dalam
kondisi ini, pengambilan inisiatif oleh pemerintah dalam perekonomian dipandang
sangat perlu untuk mendorong iklim usaha yang lebih baik sekaligus semakin
memeratakan distribusi pendapatan yang timpang selama bertahun-tahun. Perlu
dicatat bahwa selama ini, efisiensi perusahaan-perusahaan pemerintah masih
belum terbenahi juga. Lemahnya aparatur negara menyebabkan banyaknya masalah
korupsi, penyalahgunaan wewenang dan rendahnya efisiensi perekonomian.
0 comments:
Post a Comment